KH. A. Warits Ilyas (Rekam Jejak Seorang Ulama Organisatoris) - NUANSA SUMENEP

Breaking

NUANSA SUMENEP

Media Belajar Kader Muda NU Sumenep

test banner

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Jumat, 22 Desember 2017

KH. A. Warits Ilyas (Rekam Jejak Seorang Ulama Organisatoris)

KH. A. Warits Ilyas (Rekam Jejak Seorang Ulama Organisatoris)


Salah seorang ulama’ kharismatik yang karena kealimannya mampu meretas dunia pendidikan ala pesantren yang sarat dengan jam’iyah telah menyongsong kekuatan Islam. Kiai Warits, begitu ia dikenal kebanyakan orang. Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep adalah tempat dimana beliau dilahirkan dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang dari sang ayahanda Kiai Ilyas Syarqawi dan ibunda Nyiai Arfiyah pada 12 November 1938 M. Hidup dengan ala kesederhanaan dan akhlaqul karimah di setiap rekam jejaknya adalah bentuk keberhasilan dari didikan orangtua yang juga seorang ulama. 

Pada segmen ini, sengaja saya spesifikkan pada rekam jejak beliau dalam hal membangun jam’iyah dan menata jama’ah. Suatu rekam jejak yang sangat jarang dipublikasikan di beberapa media-media tersohor. Sehingga adalah satu hal yang sangat penting untuk sedikit dikupas—meski tak tuntas—terkait perjalanan beliau yang sebenarnya juga seorang ulama organisatoris. Siapa sangka seorang kiai alim dan sangat dihormati oleh masyarakat di sentero Sumenep bahkan Indonesia—karena banyak santri-santrinya yang berasal dari beberapa daerah di luar Jawa—juga aktif di organisasi kemahasiswaan, kemasyarakatan dan kepemerintahan. Inilah potret seorang kiai yang mampu menjadikan organisasi sebagai basis perjungan ampuh melawan ketimpangan sosial akibat kebengisan oknum tak bertanggung jawab. 

Sejak kecil, beliau telah dihadapkan dengan kondisi dinamika pesantren yang terus bergejolak sebagai dampak dari perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya. Hal ini tentu mendorong beliau untuk juga ikut andil di beberapa sektor kehidupan sebagai upaya mendedikasikan seluruh jiwa raganya atas keterjaminan kesejahteraan hidup berbangsa dan bernegara. Karena itu, di samping beliau menimba ilmu di beberapa pesantren dan perguruan tinggi ternama, juga melebarkan sayapnya di beberapa organisasi-organisasi yang memiliki visi-misi selaras dengan perjuangan beliau sendiri. 
Barangkali ini juga menjadi salah satu faktor mengapa out put santri-santri PP Annuqayah ketika aktif di beberapa organisasi lokal, regional, nasional bahkan internasioanal sekalipun tidak lagi diragukan akan militansinya. Kiai Warits di tengah-tengah kesibukannya mengurusi pesanren juga terlibat aktif dalam organisasi-organisasi kepemudaan seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Komisariat Guluk-Guluk sebagai Mabinkom (Majelis Pembina Komisariat) dan organisasi-organisasi sosial keagamaan seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep. Bahkan dalam dunia politik sekalipun, beliau juga ambil peran penting seperti halnya di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan DPRD Sumenep. 

1. Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (1963-1973)

Ketika darah usia muda mengalir deras dalam diri beliau, saat masih hangat-hangatnya gelora perjuangan menata jati diri lebih baik, di paruh usianya ke 27 tahun, Kiai Warits baru menyandang status mahasiswa di perguruan tinggi Islam Tebuireng, Jombang. Kala itu beliau sebagai pengurus NU di salah satu ranting, sehingga ideologi Ahlussunnah wal Jam’ah an-Nahdliyyah mengalir deras dalam diri beliau. Mungkin kalau diistilahkan dalam bahasa Madura odi’ mate, pagghun NU (hidup mati, tetap NU). Inilah cikal bakal yang kemudian beliau juga aktif di PMII. 

Pada 17 April 1960, berdasarkan hasil Musyawarah Besar Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) menghasilkan keputusan atas lahirnya organisasi kemahasiswaan yang berasal dari rahim NU. Kemudian atas restu KH. Idham Khalid ketua PBNU mempercayai Mahbub Junaidi, kader muda NU untuk membidani dan menata awal meretasnya organisasi kemahasiswaan PMII itu. Di sinilah titik temu mengapa Kiai Warits juga terlibat di PMII.

Dalam kesempatan lain, Kiai Warits aktif dan berperan penting di PMII lantaran pendiri IAIN Jember merupakan orang NU totok. Di tahun 60-an PMII memang berasal dan ditumbuhkembangkan oleh kawula muda NU.  Sehingga mahasiswa angkatan pertama IAIN Jember kala itu, tanpa terkecuali, sudah menjadi anggota aktif PMII, termasuk Kiai Warits di dalamnya. Disiplin keilmuan beliau yang juga dikagumi oleh sahabat-sahabat kampusnya ternyata juga banyak menuai nilai kemanfaat yang cukup signifikan. Hal ini ditandai dengan seringnya beliau menyampaikan orasi-orasi pergerakan dan keagamaan di setiap kesempatan berkumpul di PMII. 

Kelahiran PMII di Sumenep juga tidak terlepas dari campur tangan Kiai Warits. Hingga kini, oleh kader-kader sesudahnya, beliau menjadi senior yang dibanggakan karena mengayomi dan melindungi para kadernya. Beberapa kali, di setiap periode, beliau juga diangkat sebagai Majelis Pembina Organisasi (MPO) PMII di Sumenep. Lantaran keuletan beliau dalam memahami peta gerakan PMII Sumenep dari awal berdirinya hingga saat ini, saat dimana beliau telah menghadap sang Ilahi Rabbi. Sumbangsih dan dedikasi Kiai Warits juga tidak sedikit dalam mendirikan PMII di Guluk-Guluk pada tahun 2000 dan menjaga eksistensinya sebagai ‘PMII pesantren’ hingga kini.

2. Hidup Mati, untuk NU

Kiai Warits adalah orang yang termasuk pengurus militant di NU. Kelaimannya menjadikan ia dipercaya menduduki tatanan kepengurusan di tingkat PBNU sebagai A’wan. Memang, jika ditelisik dari historiografi dan geneologisnya, beliau memiliki singgungan yang cukup kuat dengan NU. Meski di samping itu juga beliau tercatat sebagai Dewan Musytasyar PCNU Sumenep yang saat itu KH. Panji Taufiq sebagai Ketua Tanfidziah, dan KH. Ahmad Basyir Abdullah Sajjad sebagai Ketua Syuriah.

Pada tanggal 31 Januari 1926  Nahdlatul Ulama lahir di Kota ujung Timur Pulau Jawa, Surabaya. KH. Hasyim Asy’ari atau yang lebih akrab dipanggil Mbah Hasyim sebagai pendirinya. Di Sumenep, secara historiografi, lahir pertama kali atas intruksi langsung Mbah Hasyim kepada Kiai Ilyas untuk mendirikan cabang NU di Sumenep. Hingga kini, konon, bendara NU pertama kali masih utuh dan terpelihara di Miseum NU di Surabaya. Kemudian Kiai Ilyas ditunjuk atau dipercayai sebagai ketua pertama kali PCNU Sumenep. Selama tiga tahun beliau memimpin kemudian tongkat estafet kepemimpinan dialihkan ke Kiai Abi Sujak sahabat karibnya. Karena Kiai Ilyas merasa dengan letak geografis kediamannya berada di desa, merasa kurang efektif dan efisien lalu diberikan kepada Kiai yang kediamannya berada di kota. 

Berawal dari sejarah inilah yang menjadi pegangan kokoh Kiai Warits untuk aktif di NU hingga akhir hayatnya. Hingga saat Muktamar di Situbondo tahun 1984, Kiai Warits mewakili kiai dari Madura menghadiri kegiatan terhormat itu. Hal itu didasarkan pada keilmuan dan kealimaan beliau yang tak lagi diragukan. Berdasarkan catatan sejarah, pada Muktamar itu melahirkan kemufakatan agar NU kembali ke khittah 1926. Dimana NU telah murni dari segala apapun yang berurusan dengan politik praktis. Menerima Pancasila sebagai dasar bernegara, sebab nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sarat dengan ideologi ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an. Mejadikan NKRI sebagai tatanan kenegaran yang final dan tidak boleh diotak-atik kebenerannya, yang belakangan ini oleh kalangan nahdliyyin dikenal dengan slogan; NKRI harga mati, Pancasila jaya!!!.

3. Karier Politik: Istiqamah untuk Jama’ah

Aktif di partai dan menjadi bagian penting dalam politik praktis—baik skala kabupaten maupun nasional, adalah capaian karier politik Kiai Warits selama hidupnya. Bagi beliau, tidak lengkap rasanya jika mendedikasikan hidup dengan melakukan perjuangan dari pinggiran (organisasi-organisasi kemasyarakatan dan kemahasiswaan). Sebab, untuk bisa memaksimalkan dan bisa meraih pencapaian baik memang harus disertakan ikut ambil bagian di beberapa sektor kehidupan yang dianggap sebagai pemegang kendali kesejahteraan hidup masyarakat, dalam hal ini pemerintah. 

Al-istiqaamatu ‘ainul karomah (paling tingginya karomah adalah istiqamah). Inilah hadist yang tentu saja menjadi landasan awal kenapa beliau memilih untuk tetap istiqamah dalam berpolitik, apapun yang terjadi, dan seperti apapun pandangan masyarakat, asalkan tetap mempertahankan dan menyebarkan nilai-nilai kemanfaatan di dalamnya. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah partai yang tetap istiqamah beliau duduki sebagai basis berpolitiknya. Dari sinilah beliau mulai merebahkan kariernya. Pada pemilu 1977, Kiai Warits mencalonkan diri sebagai Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di dapil 5: Gapura, Dungkek, Batang-Batang dan Batu Putih, yang kemudian terpilih. 

Semakin lama karier politik beliau kian naik. Hal itu disebabkan karena cara berpolitik beliau mampu meneladani bagi semua anggota dewan lainnya tentang sejatinya berpolitik. Di masa selanjutnya, oleh daerah, Kiai Warits dipilih sebagai anggota MPR-RI pada tahun 1992. Sistem pemilihan ini memang bukan langsung dari rakyat. Sebab sistem demokrasi kala itu, DPR maupun MPR dipilih langsung oleh daerah dengan cara tijunjuk langsung oleh pemerintah daerah. Hingga pada tahun 1999 beliau terpilih sebagai ketua PPP di Sumenep. 

Inilah sekelumit rentetan sejarah perjalanan hidup seorang ulama tersohor dalam hal pengabdiannya untuk Membangun Jam’iyah dan Menata Jama’ah. Sedari beliau masih usia muda, giat berorganisasi baik di tingkat mahasiswa, masyarakat, hingga tatanan birokrasi kepemerintahan tetap istiqamah mengalir mendarahdaging dalam diri beliau. Meski sejatinya beliau sibuk mengurusi pesantren dengan puluhan ribu santri yang mondok di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura. Sendiko dawuh, Kiai…

*Ibnu  Abbas, Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) semester III Fakultas Tarbiyah di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-Guluk Sumenep Jawa Timur. Alumni Tawajuhan Aswaja PC Lakpesdam NU Sumenep. Saat ini aktif di GUSDURian SUMENEP.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here