Al-Qur’an dan Tuhan yang Teralienasi - NUANSA SUMENEP

Breaking

NUANSA SUMENEP

Media Belajar Kader Muda NU Sumenep

test banner

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Minggu, 17 Desember 2017

Al-Qur’an dan Tuhan yang Teralienasi

Al-Qur’an dan Tuhan yang Teralienasi
Oleh: Fairozi


Memang siapa yang mengetahui maksud dan tujuan Tuhan di dalam segala kreatifitasNya yang terkadang oleh manusia dipahami sebagai wahyu, karomah, belas kasihan hingga pada ujian, cobaan dan bahkan  pada hinaan yang terpolisemikan. Tidak ada dan tidak akan ada satu orang pun yang tahu, kasih. Jangan sampai pada ke-titik yang membubung tinggi ini, maksud dan mau Tuhan. Kalau ditanya dan mencoba merenungkan apa yang sedang Tuhan katakan saat ini, kita sudah tidak tahu. Sedangkah Ia masih sibuk merencanakan apa yang  akan terjadi pada kita di hari esok dan nasib manusia beberapa ratus tahun yang akan datang? Atau malah Ia sekarang sudah berpangku tangan, lantaran pekerjaanNya sudah selesai di zaman azali bersamaan dengan sabdaNya “kun, fa yakunu”, kala kita masih berada di pundak Adam atau bahkan ketika kita masih berada pada akal pertamaNya, sebagaimana al-Farobi fahamkan melalui teori emanasi yang juga didukung oleh Ibnu Sina.s 
Entahlah kasih, fikir kita tidak usah dan jangan melambung jauh ke sana. Nalar kita terlalu sederhana, sedang karunia Tuhan yang terkadang berbentuk teka-teki, jauh memiliki arti yang dimaksudkan oleh Tuhan sendiri. Kita mesti sadar itu, kasih. Ditambah lagi dengan predikat yang harus kita banggakan ini, kita termasuk pengagum asy-Ariyah tulen, walau kata beberapa orang utamanya kalangan Syiah dan Wahabi, kita membeo--yang perlu disadari bersama adalah tunduk berdasarkan taklid buta dan tunduk karena takdiman mengakui atas segala kekurangan dan keterbatasan akal aktuil kita, ini perlu dibedakan oleh kalangan kita. Berbalik arah dari hal itu, yang boleh dan harus kita renungkan adalah ciptanNya. Sebab, bagaimana pun akal fikir diperas untuk menggapai saripati kesempurnaan pemahaman akan dzatNya pasti tidak bisa. Kendati filsuf terdahulu ketika masih mencari asal-usul, pada kesimpulannya asal asul segalanya adalah yang satu, yang absout, penggerak, yang tak teruraikan dan lain sebagainya. Baiklah kasih, saya juga mengamini keterbatasan akal ini. Yang akan kita perbincangkan saat ini adalah terma sederhana mengenai firmanNya, al-Qur’an.
Wacana tentang al-Qur’an bukanlah pembahasan yang baru muncul abad mutakhir kini. Sejatinya ini adalah pembahasan klasik yang sudah lapuk bersama perdebatan kalangan mutakallimin abad ke 7-9 kemarin. Sekalipun sampai saat ini kita masih juga ternina ketika dengan segelas kopi hangat dan sepering pisang goreng di pagi hari larut memperdebatkan firman suci ini. Kamu mungkin tidak pernah merasa, bahwa setiap hari telah membaca al-Qur’an yang aku  berikan di ulang tahunmu kemarin. Bahwa dari tartilmu bacaan, aku mendengar beberapa surat yang sempat aku tersenyum dibuatnya. Ia adalah su al-Ahzab ayat ke 59 yang artinya “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dari surat ini kasih, aku mendengar kabar bahwa perempuan akan selalu dan senantiasa menjaga kehormatan dirinya dengan jilbab yang ia gunakan. Apalagi yang dimaksudkan adalah krudung berlapis seperti trendi kostum muda-mudi sekarang. Membuat kecantikan bertambah ayu segala. Allamak,,. Namun begitu, aku—yang harus bersyukur karena telah memilih jurusan Tafsir Hadits—tidak cukup mendengar bacaan tartilmu itu. Nalar fikir nakal ini mulai berkeliaran kemana-mana, hingga ke belantara tandusnya padang pasir, Makkatul Mukarramah—semoga kita semua bisa berziarah bersama—saat kalangan Quraisy Mekkah masih tidak tau aturan, kurang sopan. Di sana saya menemukan rubayyat cerita israiliyat yang kebenarannya masih entah beranta.
Al-kisah, ayat ini diturunkan berdasarkan  suatu kecelakaan yang hampir menimpa salah satu keluarga, istri Nabi. Suatu ketika ia berjalan seorang diri tak mengenakan pelapis kepala, kerudung. Sehingga pada titik tragisnya ia dibuntuti oleh beberapa orang Quraisy jahili. Dikiranya ia adalah budak, manusia yang tak terlindungi (tidak ada yang punya) di mana pada adat mereka, siapa saja boleh menjamahnya. Sungguh menyayat hati, hampir aku menangis dibuatnya. Iya wajarlah kasih, di hati mereka masih terdapat sisa-sisa paham Zoroaster [Nabi"-nya Iran, Zoroaster, adalah pendiri Zoroastrianisme, sebuah agama yang berlangsung lebih dari 2000 tahun dan tetap punya penganut hingga kini—read 100 sejarah paling berpengaruh di dunia]. Sehingga dari kisah ini, Tuhan menurunkan ayat tersebut untuk melindungi para wanita yang sudah dimiliki orang lain, bukan budak (baca: Asbab Annuzul, ash-Shuyuti).
Demikian ini, indahnya agama kita, kasih. Agama yang bersusah payah mempertahankan kebenaran antara yang hak dan bathil. Agama--yang kata banyak orang—sakral dan sebagai penyempurnah terhadap beberapa agama sebelumnya. Kendati sampai saat ini dunia, manusia masih kreatif mencipta agama baru, Kong Hocu di jepang pada tahun 2007 kemarin bertambah menjadi 12 aliran (baca: Agama Jepang). Dengan al-Qur’an sebagai wahyu Muhammad yang terabadikan, kita dapat mendengar kabar bahwa Than telah berfirman begini dan begitu demi keselamatan umatnya dan ketentraman makhluknya secara sekeseluruhan tanpa terkecuali.
Namun, berbincang masalah teks—seperti yang saya kutip di atas, sebagai contoh saja—tidak akan lekang dan tamat diperbincangkan oleh sejuta umat hingga hari kiamat. Para interpreter dengan bersusah payah mebuat tafsir dengan pemahaman yang validitasnya dapat dipertanggungjawabkan setidaknya menurut akal aktuil mereka sendiri. Fakhruddin ar-Razi dari buah tangan kreatifnya lahirlah Mafatihul Ghaib 21 Jilid, Ibnu Abbas sebagai bapak tafsir bi al-Ma’tsur telah menyusun 17 jilid Tafsir yang diberi nama Dzurra al-Mantsur fi Tafsiri al-Ma’tsur. hal ini semua merupakan bagian dari usaha mereka yang tak kunjung menemukan titik temu satu sama-lain. Lantaran Tafir bukan hanya saja as produc tapi juga ada tafsir as proces. Jadi siapa  saja dapat 
Tidak hanya sampai di sani pembahasan kita akan selesai, kasih. Perjalanan kita mesti kita harus lanjutkan untuk dapat bersatu dalam kata sepakat satu sama lain, hingga pada titik keabadian yang Tuhan janjikan malam itu. Mereka semua tidak puas dengan tafsir yang ada, sehingga pada kesimpulannya harus membuat tafsir sendiri, dan bahkan  metodologi tafsirnya dibuat sekreatif mungkin. Dan diskusi tentang interpretasi tidak hanya berkembang dan menarik perhatian kalangan Muslim, begitu pula dengan meraka yang hidup di belantara dunia barat, Ferdinan De Saussure [Cours De Linguistique Generale], Hester B. Marcus [The Meaning of Poitic Metaphor], Bartrand Russel [logic and Knowladge], Karl Popper [The Logic of Scientific], Rudofl Otto [The Ide of The Holy], Jasque Darrida [The Ia Grammateologic], Martin Haidegger, Gadamar hingga Paul Ricour memiliki berberapa karya, The Symbolism of Evil, Theory of Interpretation dan sebagainya, sama-sama membahas tentang pemaknaan sebuah teks yang berorientasi pada verstehen dan auslegung yang sebenarnya dari sebuah teks atau naskah untuk menyaingi kesarjana muslim layaknya, bapak Amin al-Khulli, Muhammad Sahrur, Fazlurrahman, Amina Wadud, Fatima Marnisi dan konco-konconya.
Makna Fisiologi Teks dan Makna Sebagai Referensi
Ternyata kian hari, Tuhan semakin banyak kedatangan tamu yang hendak mempersunting firmanNya untuk ditafsiri dan difahami. Hingga tanpa sadar, terdapat beberapa di antara mereka yang membuat Tuhan semakin teralienasi dari firmannya sendiri, dan Ia semakin tertawa gela sendiri melihat dinamika ini. Dari contoh ayat yang saya kutip saja, pada jaman mutakhir ini sudah banyak yang berani macam-macam. Ada yang memahami ‘krudung’ itu hanya wajib apabila demi keamanan saja. Sehingga secara sekaligus, kalau sudah aman—pakai krudung atau tidak sama saja, tidak ada pengaruh—maka boleh ‘krudung’ ditinggalkan. Mereka adalah penganut qaidah al-ibratu bi khususi al-sabab la bi umumi al-lafdli dan al-hukmu yadzuru ma’a illatihi (baca: Qawaidul Asasi fi Ulumil Qur’an). Sehingga wajar kalau muda-mudi kota metropolitan—selain imperealisme wajah baru barat, dengan isu gaya/mode—telah meningalkan ‘krudung’  mereka. Dan nampaknya, pak Quraisy Shihab (mufassir kontemporer Indonesia) juga megatakan hal senada, dengan jargon “la yufsidu taghyiru al-hukmi bi taghyiri al-azmani wa al-amkinati” yang ia elu-elukan. Sehingga putri beliau ada yang tak pakek kerudung. Heffff. Tapi jangan di tiru, ketika beliau hendak mengawinkan putrinya itu, sekeluarga baca syahadat semua. hehe.
Kau tahu kasih? kata Ferdinan De Saussure ada yang disebut dengan parole da nada langue.  Begitu pun dengan Paul Ricouere. Dalam perspektif beliau membaca (risetiing) tidak semuda mendengarkan. Ketika bahasa lisan sudah berubah menjadi tulisan, ketika makna ucpan tidak diketahu detail wajah, mimik, situasi dan kondisi pengucapnya, maka kita hanya bisa meraba-raba makna (verstehen, Jerman) yang sejatinya diharapkan oleh teks tersebut. Maka setidaknya dari taks di atas, yang harus difahami adalah pertama dari makna ucapan fisiologi teks—yang masih berbentuk langue—kita dapat memahami bahwa Nabi diperintah untuk menyuruh keluarganya memakai jilbab. Kedua, secara parole jilbab akan menyelematkan istri Nabi dari gangguan Kafir Quraisy Mekkah dulu (baca: Elemin-Elemin Semiologi).
Ketiga, sebagai makna referensi dari kutipan teks dimaksud adalah “keaman dan kesucian harus senantiasa dijaga dengan segala cara”. Entah laki-laki atau perempuan, dan entah pula degnan cara mengenakan krudung atau bahkan dengan cara lain. Lalu pertanyaannya, kenapa di dalam teks tersebut  jilbab/krudung yang digunakan sebagai mahiyah? jawabannya adalah, lantaran pada waktu itu yang menjadi batas keamanan perempuan adalah jilbab. Berbeda dengan abad mutakhir ini, sekalipun mengenakan jilbab, apabila ada perempuan berjalan sendirian, tanpa mahrom yang mendampingi pasti ada banyak mata yang melirik hendak melakoni hal macam-macam, play boy. pertanyaan selanjutny, kenapa pula khitobnya perempuan? ialah karena pada masa itu yang banyak diganggu/tidak aman adalah perempuan. sedangkan laki-laki, bagaimanapun keadaannya pasti tidak akan ada yang mengganggu. Berbeda dengan sekarang, laki-laki harus juga mawas diri, sebab diluaran sana—atau mungkin juga di sini, pesantren—laki-laki belum sepeuhnya terjamin keamanannya, bisa saja dari ply girl atau bahkan dari ‘kelinci pesanten’. Hiks,,. Jadi secara makna referensi Recoere, yang harus menjaga keamanan bukan hanya terbatas pada perempuan, laki-laki juga wajib menjaga keamanannya. Dan cara menjaga keamanan bukan hanya dengan cara memakai ‘krudung’, melaikan dengan segala cara yang bisa menyelamatkan kesucian seseorang.
Kempat, mendahului itu semua, para kesarjana Muslim, Muhammad Sahrur mendonorkan metodologi al-Hudud. Dalam perpektif hududnya Sahrur di dalam memahami ayat ini harus ada batasan biar tidak menyimpang dari konsep jami’ mani’ (rigit dan komperhensip). Jadi menurut Sahrur perlu dibatasi cakupan ayat ini baik dari subjek (hanya terbatas pada perempuan khitobnya), objek (dengan menggunakan ‘krudung’ serta kriteria kerudung yang bisa menjaga keamanan) serta predikat atau atribut suatu ayat (demi keamanan, di dalam teks ini).
Jadi, dari pemaparan yang bergitu berbelit-belit ini, dapat disimpulkan bahwa, para pemerhati teks telah berlomba-lomba memahami dan menginterpretasi suatu ayat utuk menemukan pemahaman yang sempurnah dan sesuai dengan tuntutan. Sampai di sini saja kasih, kita sudah banyak menemukan beranika macam tafsir beserta metodologinya yang diberikan oleh para mufassir. Maka, akal fikir saya mulai bertanya-tanya, tafsir macam apa yang benar? dan pendapat siapa yang harus kita ikuti? isu apa yang harus kita terima? semuanya tinggal tanda tanya yang tak jelas jawabannya. Ini masih belum berahir kasih, dan mari kita musyawarakan bersama bagaimana baiknya, tanpa harus ada paksaan dan dengan sikap renda hati.
Tuhan yang Teralienasi
Tanpa disadari dari, sekian panjang perjalanan kita, dengan segala keterbatasan daya akal manusia, ternyata telah semakin jauh mebuat Tuhan teralienasi dari teks. Seperti yang saya katakan di pemuka tulisan ini “siapa yang mengetahaui maksud dan tujuan tuhan di dalam segala kreatifitasNya yang terkadang oleh manusia dipahami sebagai wahyu, karomah, belas kasihan hingga pada ujian, cobaan dan bahkan  pada hinaan yang terpolisemikan. Tidak ada dan tidak akan ada yang tahu, kasih”. Semua yang kita fahami hanyalah hasil raba-raba indra perasa kita. bahwa arti ayat ini adalah seperti ini dan seprti itu. Sebab Ia adalah al-Jauhar al-Ula yang akal manusia tidak akan pernar bisa menerka kehendakNya, melainkah hanya berusaha bersikap bijaksana dengan segala prasangka baik yang dibuat sendiri. Namun demikian kasih, sungguh maaf, saya bukan penganut nihilisme dan bukan pula bagian dari kaum sophis yang baginya tidak ada keriteria kebenaran yang dapat diakuhui secara umum.
Dari proses pencarian makna yang demikian ini, sekreatif mungkin melakukan penafsiran teks, maka tanpa disadari, yang begitu-begitu ini telah membuat Tuhan semakin jauh. Ketika teks diartikan seperti ini, ketika teks dipaksakan harus bisa menjawab segala mata tantangan zaman, ketika teks dimonopoli oleh kekuatan akal fikiran—bi al-ra’yi—, ketika pemaknaan dicampur baurkan dengan emosi, maka ketika itu pula maksud Tuhan semakin tidak diketemukan. Jangan-jangan Tuhan hanya hendak mengatakan seperti ini dengan teks ini. Jangan-jangan Tuhan ketika berfirman seperti ini hanya goyonan belaka. Jangan-jangan Tuhan sendiri yang sengaja membuat isrtri nabi dibuntuti oleh kalangan Quraisy. Jangan-jangan apalgi? silahkan buat sendiri. Namun, setidaknya saya hanya mau mengatakan bahwa Tuhan tidak ada yang tahu mauNya.
Lalu, dipenghujung catatan dialektika kegundahan ini, saya hanya mau berpesan “jangan sesekali menggadaikan Tuhan dengan penafsiran yang dibuat sekreatif mungkin” tapi bersikaplah bijaksana dan sederhana. Jangan terlalu politis yang sampai bisa membuat Tuhan teralienasi. Dan didalam ayat yang saya kutip tadi, saya sepakat dan hendak berpesan: “jagalah kesucian”. Sebab, segala yang ada, dari sekian banyak ayat yang diberikan, tujuannya hanya satu: demi kebaikan hambaNya. Maka, penafsiran dan pemahaman  hanya boleh dilaksanakan dengan sikap bijaksana, sehingga pada akhirnya Tuhan sendiri yang akan menentukan mana yang benar dan manapula yang salah. Hanya Ia yang tahu maksudNya sendiri. Semuanya tergantung padanya, kendati kita boleh juga berusaha kreatif dalam menafsiri al-Qur’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here