Cerita dari Cong Panji - NUANSA SUMENEP

Breaking

NUANSA SUMENEP

Media Belajar Kader Muda NU Sumenep

test banner

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Minggu, 17 Desember 2017

Cerita dari Cong Panji

Cerita dari Cong Panji

Panji Anak Buangan
Tahun 1947 sudah muncul di semua kalender. Matahari berputar terus. Bulan Nopember yang terkenal itu sudah kelihatan nyata di atas tanah Sumenep. 
Telah banyak pemimpin dan yang bukan pemimpin ditangkap di bulan itu karena pemberontakan para pejuang Sumenep kepada Belanda kian gigih dalam mempertahankan kemerdekaan. 
Tangkapan. Di mana-mana terdengar tangkapan. 
Sumber pertama bilang hanya untuk menakut-nakuti masyarakat Sumenep, sumber kedua bilang sebagai sandera atau dipaksa bekerja, sumber ketiga bilang untuk dibuang dan dibunuh. 
Di Kepulauan Kapajang, kemudian di beberapa kecamatan timur dan di barat.
Tangkapan. Di mana-mana terdengar tangkapan. 
Karena pemberontakan itu, pada tanggal 11 Nopember 1947 terjadi pertempuran yang sangat tragis. Kota Sumenep diserang oleh lima pesawat udara dari empat jurusan, sehingga Belanda berhasil menguasai Sumenep, daerah pertahanan terakhir di Pulau Madura.
Maka, barang siapa yang datang menyaksikan pasca pertempuran itu, dia tidak akan menyangka sekali-kali, ya... tidak akan percaya, bahwa kemarin di sana kondisi geografis alamnya masih memberikan keramahan dan kenyamanan bagi setiap orang. Sedap dipandang mata. Sumenep yang indah...
Hati siapa yang tidak percaya, bahwa kota itu pernah digalang dengan hati ria dengan bercucuran airmata.
Hati siapa yang tidak percaya, bahwa kota itu pernah digalang dengan hati orang-orang penuh harap akan dapat bergaul dengan dunia yang merdeka, oleh orang-orang yang merasa bahasa dirinya akan terus hidup sepanjang masa.
Kini, tanah itu penuh duka dan amarah.
-o-
Di sudut kehidupan lain, di satu rumah yang beratap seng, berdinding tabing yang dirajut secara teratur, berlantai tanah yang dikeraskan setiap hari dengan air agar tidak berabu, terdiri di atas sepotong tanah yang berpekarangan 24x28 m penuh dengan tanaman singkong, pepaya, dan sayuran, terletak di sepotong tanah yang menanjung menghadapi Sungai Cipinang yang luas itu, di situ... ya di situ diam kenalan kita, Cong Panji.
Diam seorang diri, tidak berkawan juga, baik laki-laki maupun perempuan. Diam seorang diri juga memisah dari pergaulan orang banyak. Hidup menurutnya hanya untuk bangsa. Tidak pada yang lain. 
Di usianya yang masih muda itu, ia sudah harus kehilangan keluarga dan istrinya. Kehilangan keluarga sebab pertempuran itu. 
Ia meyakini, bahwa orangtua dan sanak saudaranya juga pejuang bangsa. Mereka pasti mati dalam keadaan membela bangsa, benaknya berkata.
Mau apa lagi? Pikirnya. Ya, memang begitu. Ia sudah diasingkan, disingkirkan dari pergaulan ramai oleh kekuasaan, walaupun boleh bergaul dengan kawan-kawan senasib.
Tetapi bagi Cong Panji, keadaan itu sedang dan akan terus disempurnakannya, ia terus mengasingkan diri hingga benar-benar sempurna bentuk nasibnya sebagai anak buangan.

Riwayat Cong Panji, Sebelum Dibuang
Tahun 1942 Cong Panji keluar dari sekolah rendah. Pada waktu itu, ia berumur 14 tahun. 
Ayah dan ibunya adalah orang biasa saja, tinggal di salah satu kampung bernama Lanjuk. Keramahan dan sopan santun sangat melekat dalam tradisi mereka.
Karena pertolongan salah satu kenalan ayahnya, Cong Panji dapat bekerja menjadi magang di salah satu kantor yang ada di sana.
Kaum kolot memandang, bahwa suatu kegagahan itu, bila anaknya magang walau tidak bergaji sekalipun, karena kemudian anak itu bisa diharapkan menjadi priyayi.
Namun, bagi ayah Panji, tidak demikian halnya. Hati kecilnya bilang bahwa ia justru menginginkan anaknya menjadi seorang ulama. Ia mengizinkan anaknya magang yang tak bergaji itu, tentu agar anaknya tidak bermain-main tak tentu kian kemari.
Sampai di tahun 1945, sudah tiga tahun lamanya Cong Panji menjadi magang yang tak bergaji itu, dia diambil menantu oleh seorang petinggi Belanda yang selama ini sudah lama tinggal di Sumenep bersama istri dan anaknya. 
Mengenai dipilihnya Cong Panji sebagai menantu, karena Cong Panji dianggap sebagai calon priyayi, sehingga anak perempuannya dan dirinya dapat menjadi orang yang berpengaruh untuk kalangan rendah seperti Cong Panji dan keluarganya. Tentu saja ada niat busuk di dalam hubungan pertalian penyatuan dua keluarga itu. 
Selain urusan pangkat, ada lagi urusan lain;
Urusan menghancurkan jiwa kebangsaan dan keislaman.
Ayah Cong Panji sebenarnya sangat keberatan akan menerima permintaan petinggi Belanda yang sebagai besannya itu, karena mengingat anaknya akan dijadikan sebagai santri setelah magang. Bahkan, atas usulan sepupunya, ia hendak nyabis ke seorang kiai di Pesantren Luk-Guluk untuk menitipkan anaknya di sana. Selain itu, ada pula yang harus dipikirkan, yaitu urusan pencarian nafkah untuk sang istri.
Tetapi, ada tetapinya, karena besannya menyanggupi semua keperluan sehari-hari dari anak dan mantunya, yang entah darimana asal usahanya, maka ayah Cong Panji yang agak tak maju pikirannya itu terpaksa menerima perkawinan itu. 
Cong Panji sendiri masa itu tidak memikir lebih jauh. Perkawinan yang dilakukannya masa itu, entah bernama perkawinan paksa, atau perkawinan dengan cinta-tidak mencintai, atau perkawinan yang terlalu muda; itu semua tidak sedikit terasa dalam hatinya, melainkan Cong Panji merasakan kebanggaan yang sangat, yang dia pun sudah memiliki istri seperti kawan sejawatnya yang lain. 
Setahun setelah dilakukannya perkawinan itu, Cong Panji merasa kenyamanan hidup mapan. Meski dari magangnya ia tidak menghasilkan sepeser pun, ia tetap dibiayai, diberi makan, dan barang-barang yang mencukupi kebutuhan hidupnya dengan istrinya yang masih berusia 9 tahun.
Belakangan, ada yang berbeda dengan hati Cong Panji. Semacam ada yang meletup hebat di jantungnya. Fisiknya masih kecil. Umurnya 15 tahun. Mukanya tergolong pada kategori biasa, hanya saja, matanya kini selalu mengalami ‘sakit’, macam dipaku sesuatu. Keterpakuannya kini ia sadari sebagai rasa tertarik dalam mencintai dan ingin melindungi terus-menerus. Kepada istrinya, kepada jantung hatinya yang cantik dan montok itu.  
Maka, dalam benak Cong Panji, seakan-akan Sumenep ini hanya dihuni oleh dirinya dan sang istri. Hanya berdua!
-o-
Panah waktu melesat dengan cepat.
Belakangan, ada suatu hal yang selalu disembunyikan Cong Panji. Menjalani usia dua tahun perkawinan, selain masih magang, diam-diam Cong Panji melakukan sesuatu yang sangat dilarang mertuanya, yaitu ikut organisasi.  Terhitung beberapa kali sudah ia bersembunyi dari cengkraman mertua yang–ternyata busuk itu. Pikirannya jadi semakin pandai dan berkembang dalam soal keislaman dan kecintaan terhadap tanah air. 
Maka, dengan segenap hati ia berteguh untuk bersetia kepada Islam dan tanah air, dengan cara menjalankan misi dan visinya dalam berdakwah kepada masyarakat Sumenep, tak terkecuali istrinya sendiri. 
“Apa yang kamu perintahkan, saya turuti,” kata sang istri pada Cong Panji, dalam bahasa Belanda.
“Oh, benarkah? Betapa beruntungnya saya memilikimu.” Ia mengecup mesra pipi istrinya. Dan hanya sampai di situ saja. Tidak lebih. Masih muda, pikirnya.
-o-
Masa itu, masa pada tahun 1944 menjelang 1945, masa keramaian percakapan tentang Perang Kemerdekaan. Tidak. Bukan hanya percakapan, tapi sudah nyata tindakannya di depan hidung dan mata. 
Ramai di surat-surat kabar pula.
“Jadi, kita harus menyusun kekuatan pula untuk melawan penjajah biadab itu!” Yang ini suara ketua organisasi keislaman yang digeluti Cong Panji.
“Ya, jangan biarkan mereka melawan sendiri!” Suara lain menyusul.
“Pokoknya, gerakan kita ada di gerakan bawah tanah. Janganlah sampai terbocor organisasi ini. Madura, utamanya Sumenep harus bikin kekuatan yang lebih terorganisir, demi Indonesia! Setuju?!!!” 
“Setuju!!!” 
Cong Panji, adalah salah satu orang yang sudah mengucapkan kata setuju itu.
Di bibirnya, di hatinya, bergetar nama Tuhan, Indonesia, Ibu-Bapak, dan Istrinya. 
Tetapi, di sisi lain, nama mertuanya malah sangat menakutkan baginya.
-o-
Hingga Tenggelam dalam Sepi
Cong Panji masih bertekuk lutut. Dua tahun lamanya, ia meringkik dalam penjara, mulai dari penjara semarang sampai ke penjara Cipinang. Yang dirasakan ia bukan main rasa sakitnya, sakit mengingat saat ketika putri Belanda itu menangis karenanya, karena perbuatan dirinya sendiri. Sangat deras airmatanya mengalir, saat ia berpisah dengan istrinya dua tahun yang lalu. 
Ia sedang mengingat istrinya yang entah ke mana kini. Apakah keadaannya baik, atau justru sebaliknya. Apakah sudah mandi, atau belum. Apakah juga menjadi korban pertempuran? Semoga tidak untuk yang terakhir.
Kepada kedua pipinya, kepada tangannya yang halus. Ia selalu terkenang. Kepada yang lebih dalam lagi? Ia tak pernah tahu bentuknya. Masih muda, pikirnya selalu.
Padahal istri yang dikawinkan dengan kemauan orangtua kedua belah pihak saja, sudah cukup juga mengikat kecintaan hatinya, kepulangan rindunya.
Dua tahun lalu, ketakutan itu memang benar-benar terjadi. Sebelum Cong Panji dan kawan-kawan melaksanakan strategi dan rencana besar untuk melawan penjajah, bau gerak-geriknya sudah tercium terlebih dahulu oleh mertuanya sendiri. 
Segera saja petinggi Belanda itu melakukan pembuangan besar-besaran terhadap siapa saja yang dicurigai bersekutu dengannya, tak terkecuali menantunya sendiri. Ia sungguh tega membuang menantunya sendiri untuk tidak kembali selama-lamanya. 
Tidak kembali pada tanah kelahirannya.
Tidak kembali kepada istrinya yang keperawanannya masih belum disentuh oleh dirinya sama sekali.
“Dasar bocah ingusan! Masih muda sok bela tanah air!” hardik mertuanya.
Saat itulah, saat pertama kali Cong Panji merasakan pedihnya kehilangan dan perpisahan. Kulit jantungnya serasa terkelupas detik demi detik.
Terkelupas sampai detik ini, saat ia sedang beristirahat dari pekerjaan mencangkul sawah. Pikirannya selalu diiringi tangisan sang istri, juga impian membangun kejayaan di kota kelahirannya sendiri, bersama sang istri pula. 
Cong Panji tahu, sejak semula seharusnya tahu, bahwa ia sedang berada di ruang cinta yang akan melahirkan perjalanan yang tidak sesederhana makan kerupuk campur terasi. Tapi penciptaan cinta ini seperti direncanakan sendiri oleh mertuanya, dulu.
Hingga hari demi hari, ia makin tenggelam dalam suasana sepi. Jiwa mudanya akhirnya memberontak tak karuan. Melewati pagar kewarasan.  Menyeberangi garis kedewasaan berpikir. 
Tiap hari, suaranya berulangkali memekakkan telinga kawan-kawan seperjuangannya di sana. Ia akan berhenti sesudah suaranya sudah habis. Belakangan, kawan-kawannya semakin mengerti bahwa Cong Panji tak akan bisa dimengerti lagi.[*]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here